Sejarah Notaris
Rich Ard,Artikel / makalah tentang sejarah adanya notaris
Kenotariatan.com - kemasyarakatan yang dikenal sebagai “notariat” ini timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia, yang menghendaki adanya alat bukti baginya mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada dan/atau terjadi antara mereka.
Lembaga ini dijalankan oleh pejabat yang ditugaskan oleh kekuasaan umum (openbaar gezag) untuk membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan otentik.
Para sarjana Italia telah mencoba mengadakan penelitian secara mendalam dari mana asal Lembaga Notariat sebenarnya. Akan tetapi sampai sekarang belum ada kesatuan pendapat tentang hal itu.
Sejarah dari lembaga notariat yang dikenal sekarang ini dimulai sekitar abad ke-11 atau ke-12 di daerah pusat perdagangan yang sangat berkuasa pada zaman itu di Italia Utara.
Daerah inilah yang merupakan tempat asal dari notariat yang yang dinamakan Latijnse Notariaat dan yang tanda-tandanya tercermin dalam diri notaris yang diangkat oleh penguasa umum untuk kepentingan masyarakat umum dan menerima uang jasanya dari masyarakat umum pula.
Mula-mula lembaga notariat ini di bawa dari Italia Utara ke Perancis, di negara ini notariat sepanjang masa di kenal sebagai suatu pengabdian kepada masyarakat umum, yang kebutuhan dan kegunaannya senantiasa mendapat pengakuan, telah memperoleh puncak perkembangannya.
Dari Perancis ini pulalah pada permulaan abad ke- 19 lembaga notariat telah meluas ke negaranegara sekelilingnya dan bahkan ke negara-negara lain.
Nama “Notariat” sebenarnya sudah dikenal jauh sebelum di adakannya Lembaga Notariat.
Notariat itu sendiri berasal dari nama pengabdinya, yakni dari nama Notarius.
Akan tetapi apa yang dimaksudkan dengan nama Notarius dahulu tidaklah sama dengan Notarius yang dikenal sekarang.
Notarius ialah nama yang pada zaman Romawi diberikan kepada orang-orang yang menjalankan pekerjaan menulis.
Dalam buku-buku hukum dan tulisan-tulisan Romawi klasik telah berulang kali ditemukan nama atau titel Notarius untuk menandakan suatu golongan orang-orang yang melakukan suatu bentuk pekerjan tulis menulis tertentu.
Hal ini tidaklah sama dengan tugas notaris yang dikenal sekarang ini, yang pekerjaannya tidak hanya menjalankan pekerjaan tulis menulis, melainkan banyak lagi tugas notaris yang lain sebaaimana diatur dalan Undang-Undang Jabatan Notaris yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004.
Arti Notarius lambat laun berubah dari arti semula. Dalam abad ke-2 dan ke-3 sesudah Masehi, yang dinamakan para notarii tidak lain adalah orang-orang yang memiliki keahlian untuk mempergunakan suatu bentuk tulisan cepat dalam menjalankan pekerjaan mereka, yang pada hakekatnya mereka itu dapat disamakan dengan yang dikenal sekarang ini sebagai “stenografen”.
Nama Notarii berasal dari perkataan nota literaria yaitu tanda tulisan atau karakter yang digunakan untuk menuliskan atau menggambarkan perkataan-perkataan.
Untuk pertama kalinya nama Notarii diberikan kepada orang-orang yang mencatat atau menuliskan pidato yang diuacapkan oleh Cato dalam Senat Romawi, dengan mempergunakan tanda-tanda kependekan.
Selain dari kata Notarii, pada permulan abad ke-3 sesudah Maseh dikenal pula kata Tabeliones.
Sepanjang mengenai pekerjaan yang dilakukan oleh Tabeliones ini, mereka mempunyai beberapa persamaan dengan Notarius sekarang, yaitu sebagai orang-orang yang ditugaskan bagi kepentingan masyarakat umum untuk membuat akta-akta dan lain-lain surat.
Jabatan dan kedudukan para Tabeliones tersebut tidak mempunyai sifat kepegawaian dan juga tidak ditunjuk atau diangkat oleh penguasa untuk melakukan suatu formalitas yang ditentukan oleh undang-undang, sehingga aktaakta dan surat-surat yang mereka buat tidak mempunyai kekuatan otentik dan hanya mempunyai kekuatan seperti akta di bawah tangan.
Para Tabeliones ini lebih tepat untuk dipersamakan dengan apa yang dikenal sekarang sebagai zaakwaarnemer dari pada sebagai notaris sekarang.
Di samping para Notarius dan Tabeliones masih terdapat suatu golongan orang-orang yang mengusai teknik menulis, yang dinamakan Tabularii.
Pekerjan para Tabularii adalah memberikan bantuan kepada masyarakat di dalam pembuatan akta dan surat-surat.
Para Tabulari ini adalah pegawai negeri yang mempunyai tugas mengadakan dan memelihara pembukuan keuangan kota dan juga ditugaskan untuk melakukan pengawasan atas arsip dan magistrat kota-kota di bawah ressort mana mereka berada.
Pada abad ke-5 dan ke-6 Masehi, terjadi perubahan peruntukan istilah Notaris, yaitu ditujukan pada para penulis atau sekretari pribadi para kaisar atau kepala negara.
Pada waktu itu yang dikatakan Notaris adalah pejabat-pejabat istana yang melakukan pekerjaan administrasi.
Mereka menjalankan tugas untuk pemerintah dan tidak melayani masyarakat umum.
Jadi arti Notaris tidak lagi bersifat umum. Kemudian dalam perkembangannya, perbedaan antara Notaris, Tabeliones dan Tabularii menjadi kabur dan akhirnya ketiga sebutan tersebut dilebut menjadi satu, yaitu Notarii atau Notarius.
Pada saat puncak perkembangannya lembaga Notariat itu, notariat Perancis sebagaimana dikenal sekarang, dibawa ke negeri Belanda dan dengan dua buah dekrit Kaisar, masing-masing tanggal 8 Nopember 1810 dan tanggal 1 Maret 1811 dinyatakan berlaku di seluruh negeri Belanda terhitung mulai tanggal 1 Maret 1811.
Dengan adanya kedua dekrit itu, maka di negeri Belanda terdapat suatu peraturan yang berlaku umum pertama kalinya di bidang notariat.14 Notaris di Indonesia baru muncul dalam permulan abad ke-17.
Pada tanggl 27 Agustus 1620, Jan Pieterszoon Coen sebagai Gubernur Jendral Gabungan perusahaan-perusahan dagang Belanda untuk perdagangan di Hindia Timur (Oost Indie) yang di kenal dengan nama Vereenigde Oost Indische Compagnie (V.O.C), telah mengangkat Melchior Kerchem sebagai notaris pertama di Jakarta yang pada waktu itu disebut Jacarta alias Batavia atau Betawi.15 Dalam Surat Keputusan Pengangkatan notaris tersebut secara singkat dimuat suatu instruksi yang menguraikan bidang pekerjaan dan wewenangnya, yakni untuk menjalankan tugas jabatannya di Kota Jacarta untuk kepentingan publik.
Dalam menjalankan jabatannya, notaris pada saat itu tidak mempunyai kebebasan karena mereka pada masa itu adalah pegawai Oost Indie Compagnie.
Bahkan pada tahun 1632 dikeluarkan plakat yang berisi ketentuan bahwa para notaris, sekretaris dan pejabat lainnya dilarang untuk membuat akta-akta transport, jual beli, surat wasiat, dan lain-lain akta, jika tidak mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Gubernur Jendral dan Rad Van Indie, dengan sanksi akan kehilangan jabatannya.
Tetapi pada saat itu di dalam praktek ketentuan tersebut tidak dipatuhi oleh pejabat-pejabat yang bersangkutan, sehinnga akhirnya ketentuan itu tidak terpakai.
Pada tanggal 12 Nopember 1620 Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen untuk pertama kalinya mengeluarkan Surat Keputusan tentang Jabatan Notaris yang pada pokoknya memuat kedudukan notaris tersendiri dan terlepas dari kepaniteraan Pengadilan.
Pada tanggal 16 Juni 1625 keluar Instructie voor Notarissen dari Gubernur Jendral untuk para notaris yang berpraktek di Indonesia.
Instruksi ini memuat 10 pasal, yaitu antara lain:
- Bahwa para notaris itu paling sedikit (minimal) harus memiliki pengetahuan tentang hukum (costumen, statuyten en rechten) dari negerinegeri di bawah kekuasaan Belanda;
- Bahwa para notaris itu harus diuji dahulu;
- Bahwa para notaris itu harus memberi jaminan bahwa ia tidak akan melakukan kesalahan atau kealpaan;
- Bahwa para notaris itu harus menyelenggarakan protokol dan daftar yang setiap waktu diperlihatkannya kepada Ketua Pengadilan dan Kejaksaan di kota yang bersangkutanm;
- Bahwa tanpa pilih bulu para notaris harus melakukan jabatan mereka itu sebaik-baiknya dan bila perlu melayani fakir miskin secara gratis dan prodeo;
- Bahwa para notaris itu tidak akan melakukan atau menerima pemalsuanpemalsuan (barang, alat, uang dan lain-lain);
- Bahwa para notaris itu akan memegang rahasia jabatan mereka;
- Bahwa notaris itu tidak akan membuat akta untuk kepentingan/menyangkut pribadinya;
- Bahwa mereka tidak akan mengeluarkan salinan. Turunan akta selain kepada yang berkepentingan.
Dari instruksi pertama untuk notaris itu sudah terlihat sejak dahulu bahwa jabatan notaris adalah jabatan kepercayaan.
Hal ini terlihat dari salah satu pasalnya yang menyatakan bahwa notaris harus memegang rahasia jabatan dan tidak boleh melakukan atau menerima pemalsuan-pemalsuan.
Sejak masuknya notariat di Indonesia sampai tahun 1822, notariat ini hanya diatur oleh 2 buah reglemen yaitu Notarius Reglement tahun 1625 dan 1765.
Selama pemerintahan Inggris (1795-1811), peraturan-peraturan lama di bidang notariat yang berasal dari Republiek der Vereenigle Nederlanden tetap berlaku di Indonesia dan bahkan setelah berakhirnya kekuasaan Inggris di Indonesia, peraturan-peraturan lama tersebut tetap berlaku tanpa perubahan sampai tahun 1822.
Ventosewet yang berlaku di negeri Belanda tidak pernah dinyatakan berlaku di Indonesia.
Dalam tahun 1822 (Stb. Nomor 11) dikeluarkan Instructie voor de notarissen in Indonesia yang terdiri dari 34 pasal.
Pasal 1 dari Instructie ini agak menyerupai ketentuan dari Ventosewet yang menyatakan bahwa: “Notaris adalah pegawai umum yang harus mengetahui seluruh perundang-undangan yang berlaku, yang dipanggil dan diangkat untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan mengeluarkan grossenya, demikian juga salinannya yang sah dan benar.”
Pada tahun 1860 Pemerintahan Belanda menganggap telah tiba waktunya sedapat mungkin menyesuaikan peraturan-peraturan mengenai jabatan notaris di Indonesia dengan yang berlaku di negeri Belanda.
Berdasarkan asas konkordansi terhadap Peraturan tentang Notariat di negeri Belanda (De Notariswet), lahirlah Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia (Reglement op Het Ambt in Indonesie) yaitu ordonansi 11 Januari 1860 Staatblad 1860 Nomor 3 dan mulai berlaku pada tanggal 1Juli 1860.
Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia semenjak berlakunya sudah mengalami beberapa perubahan, terutama dengan Stb. 1907 Nomor 485.
Perubahan yang terakhir dengan Undang-Undang tanggal 13 Nopember 1954 Nomor 33 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara, Lembaran Negara Nomor 101 dan mulai berlaku tanggal 20 Nopember 1954.22
Seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan akan akta otentik, notaris yang merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, perlu mendapat perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum. Dengan semakin meningkatnya jasa notaris dalam proses pembangunan sebagai salah satu kebutuhan hukum masyarakat, dan tidak sesuainya lagi Reglement op Het Ambt in Indonesie (Stb. 1860:3) yang mengatur mengenai jabatan Notaris dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat, maka dengan persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Pemerintah diundangkanlah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tepatnya pada tanggal 6 Oktober 2004 tentang Jabatan Notaris (Selanjutnya akan disebut U.U.J.N).
Dengan berlakunya U.U.J.N ini, Indonesia memiliki sendiri pengaturan mengenai Jabatan Notaris dan juga telah diletakannya dasar pelembagaan yang kuat di Indonesia.