Kenotariatan.com

Hibah Kepada Salah Satu Anak, Apakah Persetujuan Anak Lainnya?

Rich Ard,

Penjelasan aturan hibah tanah kepada salah satu anak, apakah harus mendapatkan persetujuan dari anak lainnya terlebih dahulu?

Kenotariatan.com - Dalam praktik hukum di Indonesia, sering kali ditemukan kasus di mana orang tua memberikan hibah tanah kepada salah satu atau beberapa anak mereka.

Hibah, menurut Pasal 1666 KUH Perdata, adalah perjanjian di mana pemberi hibah menyerahkan benda dengan cuma-cuma tanpa hak untuk menarik kembali penyerahan tersebut.

Penting dicatat bahwa hibah hanya dapat dilakukan pada benda yang telah ada.

benda yang belum ada dan dijanjikan sebagai hibah akan menyebabkan hibah tersebut batal (Pasal 1667 KUH Perdata).

Dari sisi hukum, pemberian hibah hanya dapat dilaksanakan oleh individu yang memiliki hak penuh atas barang yang dihibahkan dan yang secara hukum cakap melakukan perbuatan hukum tersebut.

Untuk harta yang merupakan harta bersama atau harta gono-gini, persetujuan dari suami atau istri yang bukan pemberi hibah diperlukan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat 1 UU Perkawinan.

Mengacu pada judul tulisan ini, dalam hal orang tua ingin menghibahkan tanah kepada salah satu anaknya, secara teori, tidak diperlukan persetujuan dari anak-anak yang lain.

Orang tua memiliki kebebasan dalam mengelola harta kekayaannya, termasuk untuk memberikan hibah.

Namun, pemberian hibah ini dapat menimbulkan isu-isu terkait pewarisan di masa depan.

Sesuai dengan Pasal 1086 KUH Perdata,

hibah yang telah diberikan harus dimasukkan ke dalam harta warisan (di-inbreng) sehingga dihitung sebagai bagian dari harta kekayaan yang akan dibagi.

Jika tidak ada kewajiban inbreng karena dikecualikan oleh undang-undang atau pemberi hibah, namun ada anak yang menuntut bagian wajibnya, maka nilai hibah tersebut akan dihitung dalam pembagian waris dan mungkin terjadi inkorting atau pemotongan dari hibah tersebut (Pasal 921 KUH Perdata).

Selain itu, dalam hukum Islam,

hibah dapat diperhitungkan sebagai bagian dari warisan (Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam), dan hal serupa juga berlaku dalam beberapa hukum adat di Indonesia, seperti di Jawa.

Ini berarti pemberian hibah bisa berpotensi menimbulkan tuntutan di kemudian hari.

Di samping itu, pemberian hibah tidak hanya berkaitan dengan masalah hukum waris, tetapi juga dapat menimbulkan masalah sosial yang berpotensi menimbulkan sengketa antara orang tua dengan anak-anak yang tidak menerima hibah, atau antara anak-anak penerima dan yang tidak menerima hibah.

Oleh karena itu, meskipun secara yuridis formal tidak diperlukan persetujuan dari anak-anak lain ketika salah satu anak menerima hibah, dalam praktiknya, mendapatkan persetujuan tersebut sangat disarankan.

Khususnya bagi Notaris atau PPAT yang bertugas membuat akta hibah, meminta persetujuan dari semua pihak terkait dapat membantu menghindari potensi sengketa di masa depan.

Makalah Hukum Perusahaan SKMHT Dibuat Oleh PPAT Atau Notaris?
#Notaris #Hibah #Tanya Jawab